Judul Buku : Eufoni Dua Jiwa
Kekuatan
Cinta di Usia Belia
Penulis : Chairul
al-Attar
Penerbit : PING
Tahun terbit : Cetakan Pertama 2016
Tebal : 168 Halaman
ISBN : 978-602-391-250-6
Merupakan hadiah dari #KuisBukuDiva
***
BLURB
Jarak antara Palu dan Malang
memisahkan pasangan muda Sharil Ihwa dan Naina Afyatun. Ihwa dan Afya menikah
setamat SMA, namun baru bisa bersama ketika umur mereka dua puluh dua tahun.
Ujian dan godaan datang menghampiri
keduanya. Selama Ihwa kuliah di Palu, segalanya berjalan seiring dengan
bergulirnya sang waktu. Dia perlahan-lahan masuk dalam kehidupan seseorang yang
sangat misterius, yang diam-diam selalu mengirimkan surat kaleng. Juga seorang
gadis yang menganggapnya lebih dari teman biasa.
Kesetiaan dan cinta Ihwa terus
diuji, hingga puncaknya pada sebuah peristiwa besar menimpa Afya saat
menghadiri sebuah pesta di Malang.
Simaklah kisah perjalanan hidup
manusia yang merindukan kebaikan dan ingin mengapai cinta-Nya ini.
*****------*****------*****------****-----******
Dari blurb aku
rasa itu sudah cukup untuk menggambarkan bagaimana tentang ringkasan kisah Ihwa
dan Afya.
Ini karya pertama dari penulis yang aku baca, gaya
penulisan dalam cerita ini lebih cenderung banyak menggunakan narasi dan
kalimat tidak langsung. Di tulis dari sudut pandang orang pertama dari sisi
seorang Ihwa. Pada awal bab kita dibawa pada hubungan mereka pada saat tahun
2006 tahun dimana Ihwa dan Afya menikah, kemudian kita dibawa di tahun 2008
dengan konflik yang dialami oleh seorang Ihwa dan berakhir pada penghujung
tahun 2009.
Dalam cerita ini karakter Ihwa memang lebih menonjol
daripada si Afya, karena memang cerita ini berkisah tentang Ihwa, bahkan
konflik dengan orang-orang disekitar Ihwa lebih banyak daripada kisah Ihwa dan
Afya itu sendiri.
Bicara tentang sosok Ihwa, bisa dikatakan dia sosok
idaman untuk dijadikan seorang suami, sayan ia sudah menikah dengan Afya coba
kalau belum aku mau daftar jadi calon istri buah Ihwa. Xi xi xi. Melihat
karakter seorang Ihwa aku jadi ingat sebuah kalimat yaitu “Carilah akhirat mu
maka duniapun akan kau dapatkan”, Ihwa itu seperti punya magnet sendiri dan
karakter Ihwa seperti berbicara “pegang tanganku, maka akan ku tunjukkan kepada
mu indahnya surga”. Aku mau punya suami kayak sosok Ihwa. Dia setia ditengah
serbuan perempuan yang ada disekelilinginya.
Berbicara mengenai cover, cover cerita tentang Ihwa
dan Afya ini sungguh manis, semanis kisah cinta mereka. Warnanya itu kalem dan
enak di lihat.
Tapi aku pertama agak kesulitan baca judulnya, pas
tulisan “eufoni” aku sempat eja beberapa kali, tapi zonk. Jadi lihat identitas
judul buku dulu ternyata eufoni, dan aku baru dengar kata eufoni ini. Kudetnya
ternyata diriku. Jadi aku pastikan dulu di KBBI apa arti eufoni ini sebenarnya. Dan ternyata jreng jreng
Dan ternyata di aplikasi KBBI dalam bentuk PDF yang
ada di notebook kesayangku kata eufoni itu tidak ada, baiklah kita tanya
ke om google saja kalau begitu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia :
Eufoni adalah : Kombinasi bunyi yang dianggap enak didengar. (Sumber ; KBBI.web.id
Dan setelah
tahu arti kata eufoni, dua jempol
untuk judulnya karena memang cocok banget dengan ceritanya.
Aku suka cerita tentang Ihwa dan Afya, tentang
kesederhanaan, tentang tanggung jawab, kesetian dan sebuah janji. Banyak hal
yang kita pelajari dari buku ini. Mungkin ada yang berpendapat jika sosok Ihwa
dan Afya adalah sosok yang membosankan, tapi bagi aku secara pribadi mereka
mempesona dengan jalan mereka sendiri. Tapi sayang moment kebersamaan Ihwa dan
Afya sangat sedikit. Kan mereka sudah halal? (jangan berfikir adegan yang
gimana-gimana ya, romantis dan kebersamaan antara hubungan suami istri gak
melulu tentang itu ya)
Makanya aku paling suka waktu adegan dimana Ihwa dan
Afya saling bertelpon ria, romantis dan sukses bikin senyum senyum sendiri
(untuk bacanya di kamar, coba kalau di alun-alun kabupaten, pasti orang
mikirnya macam-macam), adegan itu sedikit sih tapi terpatri kuat. Ha ha ha
Di cerita “Eufoni
Dua Jiwa” ini bertebaran kata-kata yang keren dan super sekali, antara lain
sebagai berikut :
“Tapi kita
manusia tidak boleh pesimis untuk menyerah.
Karena waktu
masih selalu memberikan kita ruang untuk tersenyum.”
(Halaman 12)
“Setiap
manusia sesungguhnya memikul tanggunjawab kemanusian,
apalagi
manusia itu berpengatahuan. Maka, dia harus melakukan tugas kemanusiaanya itu
dengan pengetahuan yang dimilikinya.
Bukan
mengabaikan lantas melupakan.”
(Halaman 19)
“Hati adalah
semesta kecil dari manusia
yang
dibilang adalah mikrokosmos semesta alam raya.”
(Halaman 27)
“Dalam diri
manusia ada segumpal daging yang melekat padanya.
Jika itu
baik maka baiklah dirinya. Tapi apabila dia buruk, buruklah manusia itu.”
(Halaman 31)
“Jangan
sampai membiarkan kebencian membakar habis cinta dalam hati karena jiwa akan
menderita. Memaafkan itu amat berat, tapi tak menurunkan derajat kita,
melainkan membuat kita menjadi manusia yang mulia.”
(Halaman
105)
“Setiap
orang menginginkan kebahagiaan dalam hidup.
Tapi kadang ada yang lupa bahwa kebahagiaan
itu saat kita bisa melihat keindahan hidup. Dan keindahan tersebut berada
diantara tangis dan tawa,
suka dan duka, sedih dan senang.”
(Halaman
160)
Buat para kalian yang sedang melakukan hubungan jarak
jauh alias LDR, ada cuplikan doa yang
sering Afya dan Ihwa ucapkan, doanya seperti ini :
“Ya ALLAH,
kuatkan cinta kami. Cahaya hidup kami dengan cinta-Mu. Bawalah kami dalam
naungan kasih-Mu menuju jannah-Mu.”
(Afya dan
Ihwa, halaman 37)
Dan ada sesuatu yang sangat amazing, dan membuka pengetahuan aku tentang arti sebuah pernikahan
yang tidak biasa. Menurut pandangan mereka arti pernikahan adalah ,”Ikatan suci itu adalah sebuah tali yang
merekatkan dua jiwa, tapi tidak menyatukannya. Dua jiwa itu akan bersama dalam
satu cinta. Tetap dengan jiwa mereka masing-masing. Tanpa ada penyatuan.”
(Halaman 39)
Setelah selesali membaca kisah Ihwa dan Afya, novel “Eufoni Dua Jiwa” merupakan novel dengan
genre romance religi, sosok Ihwa yang
sangat memegang teguh agamanya begitu juga dengan Afya. Dari cerita mereka ada
sesuatu yang menggelitik yang sepertinya anak-anak muda di Indonesia secara
keseluruhan bisa meniru dua tokoh utama dalam cerita ini. Menikah muda disambi
kuliah, memang bukan hal mudah dan kembali ke pribadi masing-masing, tapi tidak
ada yang salah jika kita ingin meniru Ihwa dan Afya. Berusaha setia dan saling
percaya adalah hal mutlak yang diperlukan dalam sebuah hubungan, apalagi untuk
mereka yang menjalin hubungan jarak jauh dan jangan lupa komunikasi.
Dari mereka mengajarkan kepada kita semua bahwa,
segala sesuatu jika sesuai dengan aturan Agama dan Norma maka segalanya akan
lebih mudah dan membahagiakan. Apasih yang dicari di dunia ini kalau bukan
sebuah kebahagian. Tapi kebahagian yang seperti apa yang kita cari? Hanya kita
yang bisa memilih. Mau seperti Ihwa da Afya atau mau seperti orang lain? Semua
kembali kepada pilihan masing-masing.
Novel ini menurut aku, cocok untuk dibaca usia remaja
maupun dewasa maupun orangtua, karena memang selain mengisahkan kisah cinta
Ihwa dan Afya juga ada tentang bagaimana hubungan yang baik dan selaras antara
ibu, ayah dan anak-anaknya.
Kalian harus punya novel ini, dijamin gak bakalan
rugi.
Bintang 4 untuk cerita ini dari aku.
*****------*****------****--------*****------*****
Tentang
penulis
Chairul
al-Attar, anak ketiga dari lima bersaudara, lahir di sebuah
desa yang teramat jauh dari ibu kota, salah satu desa di timur Indonesia, Wayau
pada tahun 1988, dari pasangan suami istri Mahmud Dahlan dan Srida Paminjen.
Sejak kecil, penulis yang pernah terkena penyakit malaria tropika dan tifus
ini, sering didonengkan oleh kakaknya waktu ingin tidur, yang secara tidak
langsung memicu bakat juga keinginnya dalam menulis. Di samping itu, penulis
pun senang duduk di dalam rumah sambil membaca buku-buku cerita di lemari buku sang ayah.
Pada tahun 1998, di akhir masa pemerintahan
orde baru, penulis menamatkan studinya di Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairaat dan
setahun kemudia, di tengah-tengah konflik antara agama, penulis menamatkan
pendidikan SD Inpres Wayau. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan ke
jenjang menengah SMP al-Khairaat Wayaua. Tahun 2003 melanjutkan ke SMA Negeri 4
Palu.
Penulis yang senang memandang bintang dan
laut ini pernah duduk di kelas Pendidikan Matematika UIN Alauddin Makassar
untuk belajar aritmatika, aljabar, logika dan sejumlah teorema dalam
matematika. Kini, penulis kembali melanjutkan studinya di Universitas
Sarjanawiyata Tamansiswa Jogjakarta. Baginya, menulis adalah kebutuhan jiwanya
yang tidak bisa dia tinggalkan. Bukunya yang sudah terbit berjudul “Pelangi di Atas Cinta.” (2010)
2 Komentar
makasih sudah membaca novel saya. tidak sengaja menemukan blog mbak ketika seacrhing di om google. danke.
BalasHapussama sama kak, semoga suka dengan reviewnya, maaf kalaau misal reviewnya masih ada kekurangan...
BalasHapusTerima kasih telah membaca sampai selesai.
Mohon maaf sebelumnya, kolom komentar aku moderasi.
jadi komentar kalian tidak akan langsung muncul, nunggu aku setujui dulu baru bisa terlihat.
tinggalkan komentar dan senang berkenalan dengan kalian