Pagi
Dan semangat pagi.
Ini
adalah postingan terakhir di part pertama novel OVERTIME, jadi untuk baca part
selanjutnya kalian wajib beli bukunya, mumpung masih di buka masa pre order, yang berakhir di tanggal 31
Agustus, segera hubungi penerbit TWIGORA ya, ssst potongan harganya lumayan
lho, jadi harganya jauh lebih murah, selain itu juga ada bonus yang
te-o-pe-be-ge-te.
Dan inilah part terakhir
dari PART PERTAMA NOVEL OVERTIME
DIONDRA merapikan rok sepan hitamnya. Tapi,
baru sedetik dia mera-sa penampilannya sudah sempurna, langkahnya tiba-tiba
limbung, dan dia nyaris saja terjatuh.
Ternyata hak sepatunya patah. Bagus!
Diondra melirik ke sekeliling teras
Hotel Nevenka, tempatnya ber-ada saat ini, tapi tidak menemukan bangku satu
pun. Tertatih-tatih, dia pun bergeser hingga ke pinggir, sehingga tidak
menghalangi lalu-lalang orang-orang yang keluar-masuk hotel.
Diperiksanya hak sepatunya yang patah,
dan ternyata hak sepatu-nya itu memang sudah tidak bisa terselamatkan. Kalau
dia tidak mau berjalan timpang, mau tidak mau dia harus mematahkan hak
sepatunya yang sebelah lagi. Meski sayang, dia tetap mencoba untuk melakukan-nya.
Tentu, kalau mau sengaja dipatahkan,
hak sepatu itu malah menun-jukkan ketangguhannya, dengan
menolak untuk dipisahkan dari badan-nya. Diondra menariknya dengan sekuat
tenaga, lalu memukul-mukul-kannya ke lantai. Tapi hak sepatu itu tetap menempel
erat dengan badannya, seolah meledek Diondra yang sampai mengerang dengan
su-ara aneh. Dan ternyata suara erangannya menarik perhatian seseorang, yang
tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya.
“You
sound like you’re having sex,” komentar
orang itu, yang kontan membuat Diondra berhenti mengerang. Dia mendongak, dan
melihat seorang laki-laki terseksi yang pernah dilihatnya selama dua puluh
tujuh tahun hidupnya. Laki-laki itu memiliki mata setajam elang, dengan ram-but
lurus dan rahang tegas. Sebuah anting hitam menghiasi telinga kiri-nya. Dia
menyeringai melihat Diondra yang terbengong-bengong, dan merebut sepatu yang
haknya dicoba dipatahkan itu. Otot biseps di balik kaus putih yang dikenakannya
sampai mengencang ketika dengan sekuat tenaga laki-laki itu mematahkan hak
sepatu itu, dengan suara seperti tulang yang dipatahkan. Usai memisahkan hak
sepatu itu dari badannya, diserahkannya keduanya pada Diondra, yang hanya
menerimanya tanpa berkata apa-apa. Belum sempat Diondra mengucapkan terima
kasih, karena dia masih terpesona pada laki-laki itu, laki-laki itu sudah keburu
pergi dari hadapannya. Diondra memperhatikannya, dan melihatnya berjalan menuju
Porsche Boxster merah yang diparkir di pelataran parkir VIP, di seberang teras
hotel. Laki-laki itu memasuki mobil itu, menyalakan mesinnya, dan meraung pergi
dari pelataran parkir hotel.
Seksi, kuat, kaya. Diondra merasa dia
akan pingsan.
Tapi dia tidak boleh pingsan. Hari ini
adalah hari yang penting bagi-nya, di mana dia akan diwawancara oleh direktur
hotel ini, untuk men-jadi asisten pribadinya. Dia sudah lolos wawancara dengan HR
manager, lalu dengan asisten pribadi direktur yang akan digantikannya. Jadi,
kini tinggal direktur itu sendiri. Kalau direktur itu
menerimanya, maka ini akan menjadi pengalaman bekerja keduanya setelah lulus
kuliah.
Sesungguhnya, Diondra tidak menyangka
akan lolos sampai sejauh ini. Dia memang sudah memiliki pengalaman bekerja,
tapi itu sebagai purchasing staff, yang tentunya sangat berbeda dengan
pekerjaan yang dilamarnya ini. Jadi bisa dibilang dia hanya mengandalkan keberuntung-an
kali ini. Dan ternyata dia memang beruntung—hampir. Masih ada satu langkah lagi
sebelum keberuntungannya menjadi benar-benar nya-ta.
Sembari memasukkan dua hak sepatunya
yang patah ke tasnya— mungkin dia masih bisa menyelamatkannya nanti, dengan
mengelem-nya atau apa; dia tidak ingin membuang-buang uang dengan membeli
sepatu baru—Diondra mulai berjalan memasuki hotel. Sesuai dengan pe-tunjuk Lori—asisten
pribadi direktur yang akan digantikannya itu—dia menunggu di salah satu sofa
emas yang ada di lobi. Dia sengaja datang lebih pagi untuk wawancara ini.
Syukurlah, mengingat insiden patahnya hak sepatunya itu.
Lobi hotel itu luas dan sangat mewah.
Selain sofa-sofa emas beserta meja kopi yang terletak di posisi-posisi
tertentu, ada sebuah tangga elips di tengah-tengah lobi, dengan pegangan tangga
emas. Kandil-kandil kristal juga tergantung di posisi-posisi tertentu, dan
lantainya berlapis karpet emas dengan motif naga.
Kurang tidur dan harus bangun
pagi-pagi, ditambah suasana lobi yang nyaman dan sejuk, membuat Diondra
menyerah terhadap kantuk. Dia tadinya hanya ingin memejamkan mata barang
semenit saja, tapi ketika dia membuka matanya lagi, ternyata empat puluh lima
menit telah berlalu, dan Lori sudah berdiri di hadapannya. Lori yang
memba-ngunkannya.
“Ngantuk, Di?” goda Lori.
Diondra kontan panik. “Maaf, maaf,
maaf,” cetusnya. “S-saya nggak sengaja ketiduran.”
Lori mengibaskan tangannya. “Santai
saja, Di,” katanya menenang-kan. “Saya juga mungkin akan ketiduran kalau
disuruh menunggu di lobi ini. Eh, tunggu. Saya memang pernah ketiduran di lobi
ini.”
Diondra memaksakan tawa, meski masih
merasa panik. Dia memang begitu bodoh, sampai ketiduran begitu. Untung saja
Lori bersikap santai.
Lori memimpin Diondra berjalan ke arah
lift, dan naik ke lantai tiga. Mereka lalu melintasi sebuah koridor yang
berakhir di sebuah ru-angan yang disekat kaca. Ada sebuah meja kerja di balik
kaca itu, yang sepertinya adalah meja Lori. Di seberangnya, ada sebuah ruang
tunggu, yang hanya terdiri dari satu sofa hitam dan meja kopi. Tidak jauh dari
meja kerja Lori dan ruang tunggu itu, ada sebuah pintu kayu besar. Lori
mengetuknya, dan setelah dipersilakan masuk, dia membawa serta Diondra
bersamanya.
Diondra terpana melihat calon bosnya,
yang sedang duduk di ba-lik meja kerjanya. Laki-laki, masih muda, dan... ya
Tuhan... amat seksi. Tidak cukupkah laki-laki seksi/kuat/kaya di bawah tadi,
sehingga calon bos Diondra pun harus seseksi itu?
Tidak bisa tidak, Diondra pun teringat
pada Yuda—senior yang menjadi pacar pertama, sekaligus pacar satu-satunya, saat
dia kuliah. Wajah Tyler sedikit mirip dengan Yuda, dengan mata jernih, alis
lebat, dan hidung mancung. Mungkin karena itu detak jantung Diondra men-jadi
tidak beraturan sekarang.
Nama “TYLER NASH” tertulis di plakat
yang ada di atas meja ker-ja calon bos Diondra itu, di atas tulisan “DIREKTUR”.
Dia berdiri keti-ka Diondra dan Lori masuk, dan menyalami Diondra, sambil
tersenyum ramah. Sentuhan tangannya, dan senyumannya, berhasil membuat Diondra lupa caranya bernapas.
“Silakan duduk,” kata Tyler pada
Diondra, dan Diondra pun me-nurutinya. Dia sendiri pada akhirnya juga kembali
duduk.
Lori memberikan sebuah map pada Tyler.
Lalu, setelah memberi-kan Diondra semangat lewat senyumannya, dia duduk di
salah satu sofa yang ada di belakang kanan Diondra.
“Jadi, Diondra Wilda,” mulai Tyler,
membaca nama Diondra di do-kumen yang ada di dalam map itu, yang merupakan CV
Diondra. “Itu nama kamu, kan?”
“Benar, Pak.”
“Saya nggak akan mengajukan banyak
pertanyaan, karena saya ya-kin kamu sudah cukup mendapatkannya dari Bu Kanaya
dan Lori,” kata Tyler. Bu Kanaya, seingat Diondra, adalah nama sang HR manager.
“Tapi beri tahu saya, kenapa kamu tertarik menjadi asisten pribadi saya?”
“Karena menjadi asisten pribadi adalah
hal yang baru untuk saya, dan saya selalu menyukai hal-hal baru, yang bisa saya
jadikan pengalam-an hidup saya. Tapi meskipun itu adalah hal yang baru, saya
akan tetap bisa menguasai pekerjaan saya dengan cepat.”
“Oh, jadi kamu bukan tertarik karena gajinya
yang besar?”
Perlu waktu beberapa saat bagi Diondra
untuk menyadari kalau Tyler hanya sedang menggodanya. Dia langsung tertawa
kikuk, setelah sebelumnya sempat menganggap serius pertanyaan Tyler.
“Y-yah... itu salah satunya,” aku
Diondra.
Tyler kembali serius. “Di CV kamu,
tertulis kalau kamu sudah be-kerja sebagai purchasing staff selama empat tahun,”
katanya. “Apa yang membuat kamu akhirnya berhenti? Apa perusahaan lama kamu
nggak memuaskan?”
Sebenarnya, ya, tapi Diondra malah
berkata, “Bukan, bukan seperti itu. Saya hanya ingin mencari
pengalaman baru.”
Tyler mengangguk-angguk. “Oke, kalau
begitu pertanyaan tera-khir,” katanya, membuktikan kata-katanya kalau dia
memang tidak akan mengajukan banyak pertanyaan. “Apa kamu punya pacar?”
Diondra langsung terbengong-bengong
mendengar pertanyaan itu. Apa memang wajar Tyler bertanya seperti itu?
“Jangan berpikir yang macam-macam,”
kata Tyler, karena Dion-dra lama hanya terdiam. “Kalau memang ya, saya hanya
ingin tahu apa kamu berniat untuk menikah dalam waktu dekat, karena saya nggak
ingin ada laki-laki yang merebut kamu dari saya.”
Lori tiba-tiba tertawa, membuat
Diondra mencurigai kalau kata-kata Tyler itu ada hubungannya dengan perempuan
itu. Dan sepertinya memang ada, dilihat dari kata-kata yang diucapkan Lori
untuk menim-pali kata-kata Tyler.
“Nggak semua wanita yang akan menikah
akan berhenti dari pe-kerjaannya.”
“Dan seharusnya kamu pun begitu,” kata
Tyler. Dia lalu berpaling kembali pada Diondra. “Saya hanya nggak suka
bergonta-ganti asisten, karena itu akan terlalu merepotkan. Jadi kalau kamu
memang mau be-kerja sebagai asisten pribadi saya, saya harap kamu akan
benar-benar berkomitmen. Jangan baru bekerja satu tahun, lalu kamu berhenti.”
Diondra mengangguk mantap. “Saya akan
benar-benar berkomitmen.”
“Jadi, kamu siap bekerja mulai Senin depan?”
Mata Diondra membesar. “Maksud Bapak,
saya diterima?” “Kecuali kamu nggak mau diterima,” tanggap Tyler enteng. “Tentu
saja saya mau diterima,” sergah Diondra buru-buru. “Dan saya siap untuk bekerja
mulai Senin depan.”
“Bagus. Kalau bisa, Jumat ini kamu
datang dulu ke sini, supaya Lori bisa mengajari kamu apa-apa saja yang perlu
kamu lakukan sebagai asisten pribadi saya. Nggak sulit, sebenarnya, jadi kamu
pasti akan bisa menguasainya dengan mudah.”
“Saya akan datang Jumat ini,” kata
Diondra. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama, Diondra,” balas Tyler. “Selamat
bergabung di Hotel Nevenka.”
Diondra keluar dari ruang kerja Tyler
dengan perasaan senang luar biasa. Lori, yang mengantarnya kembali ke bawah,
sampai bisa menge-tahuinya, hanya dengan melihat ekspresi wajahnya.
“Kamu terlihat seperti ingin terbang,”
goda Lori. “Tapi selamat ya, Di. Kamu sudah mendapatkan bos terbaik yang
mungkin kamu miliki.”
“Terima kasih. Tyler sepertinya memang
baik.”
“Terbaik. Kamu nggak akan bisa
menemukan bos seperti dia di tempat lain.”
Mereka turun dengan lift, dan kembali
ke lantai dasar. Sepanjang berada di dalam lift dan melintasi lobi, mereka
terus bercakap-cakap.
“Pekerjaan kamu, seperti yang dibilang
Tylor tadi, memang nggak sulit,” kata Lori. “Kamu hanya akan mengurus
jadwal-jadwalnya, doku-men-dokumen yang perlu ditandatanganinya, mengangkat
telepon-tele-ponnya, dan hal-hal remeh lainnya. Untuk detailnya, akan saya
kasih tahu kamu Jumat nanti.”
“Saya perlu datang jam berapa Jumat
nanti?”
“Sebelum jam makan siang, kalau bisa.
Kamu telepon saya saja ka-lau kamu sudah sampai sini. Kamu ada nomor HP saya,
kan?”
Diondra mengangguk. “Saya akan datang
sekitar jam sembilan.” Mereka telah tiba di dekat pintu utama hotel. Diondra
sudah akanberpamitan, tapi Lori menahannya.
“Tentang pekerjaan kamu itu,
sebenarnya ada satu lagi. Kamu mungkin asisten pribadi Tyler. Tapi, sesekali,
kamu harus berhubungan sama adiknya juga.”
“Adiknya?” ulang Diondra, tidak tahu
kalau Tyler punya adik. Lebih jauh lagi, dia memang tidak tahu apa-apa tentang
laki-laki itu.
Lori mengangguk. “Namanya Christopher
Nash,” katanya. “Dia wa-kil direktur di sini, andai saja dia lebih sering
bekerja.” Subkalimatnya diucapkan dengan setengah berbisik, seolah tidak ingin
orang lain selain Diondra mendengarnya. Tapi di kalimatnya selanjutnya,
suaranya nor-mal kembali. “Dia nggak memiliki asisten pribadi—dulu ada, tapi
tiga gadis yang menjadi asisten pribadinya selalu berhenti setelah sebulan
kerja. Jadi, sesekali Tyler pasti akan menyuruh kamu untuk mengurus jadwal-jadwalnya
juga.”
“Apa Christopher itu orang yang sulit?”
tanya Diondra penasaran.
“Mmm... gimana, ya?” Lori malah bertanya-tanya
sendiri. “Dia juga
baik,
sebenarnya, tapi sedikit lebih... rumit, dibanding Tyler.”
“Rumit gimana?” desak Diondra, merasa
ingin tahu lebih banyak tentang bosnya yang satu lagi.
Lori menggaruk-garuk kepalanya, merasa
kebingungan sendiri. “Intinya, kamu hati-hati saja kalau berurusan sama dia,”
katanya, masih tidak jelas. “Apalagi kamu cantik begini, jadi dia pasti nggak
akan mele-watkan kamu.”
Diondra malah merasa ngeri begitu
mendengar kata-kata Lori, se-olah Christopher Nash itu adalah pemangsa dan dia
adalah calon kor-bannya.
Eh, tapi mungkin saja begitu.
“Tyler dan Christopher nggak akur,”
kata Lori. “Jadi akan cukup su-lit bekerja untuk keduanya sekaligus.”
“Masalah keluarga?” tebak
Diondra.
“Salah satunya. Tapi kedua laki-laki
itu sepertinya memang nggak dilahirkan untuk bisa akur. Sepanjang yang saya
tahu, sudah dari kecil mereka begitu.”
“Oh,” kata Diondra. Dia sebenarnya
masih penasaran dengan masa-lah antara kedua bosnya, tapi dia tidak bisa
bertanya-tanya lagi, karena Lori harus segera kembali ke atas. Jadi setelah
saling berpamitan, mere-ka pun berpisah.
****
Penasaran
kan bagaimana kisahnya? Seperti apa hari-hari Diondra saat harus berhadapan dua
kakak beradik yang kadar ketampannya di atas rata-rata serta kesulitan seperti
apa yang bakalan Dioandra rasakan di kantornya.
Kalian tim
Tyler atau Tim Chirs?
Yang mau
ikutan PO bisa cek banner di bawah ini. Dan kalian pun juga bisa PO novel Abang
Christian Simamora yang terbaru, bersamaan dengan novel OVERTIME.
Sampai jumpa
kembali
Dan bye
Bye
0 Komentar
Terima kasih telah membaca sampai selesai.
Mohon maaf sebelumnya, kolom komentar aku moderasi.
jadi komentar kalian tidak akan langsung muncul, nunggu aku setujui dulu baru bisa terlihat.
tinggalkan komentar dan senang berkenalan dengan kalian