{Review} MEI HWA DAN SANG PELINTAS ZAMAN – AFIFAH AFRA



Judul Buku : Mei Hwa (Dan Sang Pelintas Zaman)

Penulis : Afifah Afra

Penerbit : Indiva Media Kreasi

Tahun terbit : Cetaka Pertama, Safar 1435 H / Januari 2014

Tebal : 368 Halaman

  ISBN : 978-602-1614-11-2

***

BLURB

“Dia korban pemerkosaan, “bisikan lelaki berjas putih itu menyakitiku. Korban pemerkosaan. Aku mengerang. Meradang. Seakan ingin memapas sosok-sosok beringas yang semalam itu menghempaskan aku kepada jurang kenistaan.

“Kasihan dia, “ ujar lelaki itu lagi, samar-samar kutangkap, meski gumpalan salju itu menghalangi seluruh organ tubuhku untuk bekerja normal seperti sediakala.

“Kenapa?” tanya seorang wanita, juga berpakaian serba putih.

“Rumahnya dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stress, masuk rumah sakit jiwa dan ibunya bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.

-------

Huru-hara 1998 tak sekadar telah menimbulkan perubahan besar di negeri ini. Sebongkah luka yang dalam pun menyeruak di hati para pelakunya. Mei Hwa, gadis keturunan Tiong Hoa adalah salah satunya. Dalam ketertatihan, Mei Hwa berusaha menemukan kembali kehidupannya. Beruntung, pada keterpurukannya, dia bertemu dengan Sekar Ayu perempuan pelintas zaman yang juga telah terbanting-banting sekian lamanya akibat silih bergantiannya penguasa, mulai dari Hindia Belanda, Jepang hingga peristiwa G30S PKI. Sekar Ayu yang telah makan asam garam kehidupan mencoba menyemaikan semangat pada hati Mei Hwa nan rapuh.

Dalam rencah badai kehidupan, berbagai kisah indah terlantun : persahabatan, ketulusan, pengorbanan, dan juga cinta. Lewat novelnya ini, Afifah Afra kembali mengobrak-abrik emosi pembaca dengan novel yang sarat konflik, diksi menawan dan pesan yang sangat kuat. Selamat Membaca.

*****------*****------*****------****-----******




Akhirnya selesai juga dalam membaca buku bercover biru muda ini. Subhanallah luar biasa penulis dalam mengeksekusi cerita ini.


Mei Hwa ditulis dengan menggunakan 2 sudut pandang cerita dan dengan 2 alur konflik cerita yang berbeda pula. Tetapi meskipun begitu cerita tetap berjalan apik.


Dua sudut pandang dan dua konflik dalam cerita novel ini berkisah tentang Mei Hwa atau Ong Mei Hwa dan mempunyai nama jawa Suryani Cempaka Ongkokusuma. Mei Hwa merupakan keturunan China dan Minahasa. Ayahnya China dengan marga Ong sementara sang ibu keturunan Minahasa. Mata sipit, kulit putih, tulang pipi agak menonjol dan bibir merah serta rambut lurus.


Gadis pintar yang selalu menjadi bintang kelas dan meski gagal masuk ke universitas inceran tapi Mei Hwa berhasil masuk lewat jalur UMPT dan di terima di fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret yang ada di Solo. Dan di sinilah kehidupan kampus Mei Hwa jalani.


Lalu yang kedua adalah Sekar Ayu Kusumastuti, cucu dari Raden Mas Kertapati dan Raden Nganten, mereka merupakan dari kalangan keluarga berada pada zaman penjajahan. Sekar Ayu Kusumastuti sendiri lahir di tahun 1936.


Meskipun perpindahan alur dari Bab tentang Mei Hwa ke bab kisah tentang Sekar Ayu sangat cepat, tapi tenang saja kita pasti bisa mengikutinya. Bab pertama dalam pikiran, ini tokoh siapa sih, dan apa hubungannya dengan si tokoh utama, ternyata meski tokoh pendamping ia adalah tonggak pertama cerita yang sangat berperan. Kepiawaian penulis memang sudah tidak diragukan lagi.


Alur cerita dari masa depan ke masa lampau, baca bab pertama, kok langsung gini, ternyata sejarah cerita mereka berdua sangat panjang dan sayang kalau dilewatkan walau sebaris kalimat.


Cerita dalam kisah Mei Hwa ini, menyentuh relung hati dan emosi pembaca, di mana kita bisa melihat suatu kejadian dari dua sisi yang berbeda. Kita tidak bisa menghakimi atau menyalahkan satu pihak. Meski kita sebagai pembaca tapi aku merasa tidak bisa menyalahkan salah satu pihak.


Tentang penderitaan Sekar Ayu sejak usia 5 tahun yang lari menyelamatkan diri dari rumah, karena di serbu tentara Jepang dan kemudian di usia 5 tahun dia sudah mengalami hal yang dia sendiri tidak tahu dan dari semua itu menjadi titik awal dari kisahnya.


Mei Hwa, bagaimana perjuangan ia bisa berdamai dengan dirinya sendiri, sungguh pilu dan menguras air mata serta emosi.


Dari novel Mei Hwa ini aku menemukan beberapa quote yang menarik dan bisa memberikan banyak pelajaran bagi kita semua, antara lain :


“Krisis boleh membelit, tapi kinerja harus tetap elit.”

(Halaman 20)


“Seandainya ikan, kita ini belut. Belut harganya murah, tetapi dia bisa tinggal di dalam lumpur, berbeda dengan ikan gurami yang mahal tapi sekarang kalau di lempar ke air yang tak jernih. Jangankan lumpur, di air yang hanya sedikit keruh saja sudah sekarat.”

(Halaman 22)


“Naik haji itu kewajiban orang Islam, jadi bukan jaminan seorang yang naik haji itu telah mendalami Islam dengan baik.”

(Halaman 50)


“Pada setiap jenis kehidupan akan selalu dijumpai selilit yang membuat kenikmatan hidup sedikit terusik. Seberapa jauh peran selilit itu tergantung bagaimana kita membersihkannya. Jika kita rain, setiap ada selilit langsung kita bersihkan, maka gigi kita akan senantiasa bersih. Namun, jika selilit itu sengaja kita biarkan lama-lama akan terintegrasi dengan selilit yang lain, menumpuk dan menjadi habitat kuman yang sedikit demi sedikit akan menghancurkan email gigi kita.”

(Halaman 260)

 


Beberapa hal yang baru aku tahu setelah membaca cerita Mei Hwa antara lain :

  • Meski aku orang jawa, aku baru tahu kepanjangan dari nasgitel adalah panas, legi tur kenthel. Artinya panas, manis dan kental.
  • Ternyata Cina dan China dan Tionghoa itu beda. Bedanya apa? bedanya adalah Cina adalah sebutan yang merendahkan untuk bangsa Tionghoa.

 


Ada tiga adegan dalam cerita yang aku suka dalam cerita ini yaitu sebagai berikut :

  • Pertama waktu penulis mendeskripsikan kisah cinta Mei Hwa, seru, bikin senyum dan kocak.
  • Kedua adalah waktu pertemuan Cempaka dan Mbah Murong. Cempaka yang melarikan diri dari rumah sakit yang menggap dirinya adalah seorang burung kutilang, setelah sebelumnya dia merasa menjadi seekor kera sakti. Mbah Murong bisa menghadapi Cempaka selayaknya menghadapi orang normal pada umumnya. Gara-gara mbah Murong, aku jadi mikir, kalau orang gila diajan ngomong seperti orang normal apakah juga akan seperti itu,
  • Ketiga, dari semua cerita ini dari awal dan akhir memang bisa dikatakan banyak cerita tragis, tapi di adegan ini, aku bisa ketawa sepuasnya, karena ada sosok Jepri anak kelas 5 SD yang jadi pengamen jalanan yang tiba-tiba muncul dan ngobrol dengan Cempaka, yang ia sebut dengan mbak cantik. Jepri yang ngotot kalau Cempaka adalah manusia sedangkan Cempaka tetap kukuh mengatakan kalau ia adalah burung dengan sepasang sayapnya. Dalam hati aku berkata “YA Allah Jep, kamu debat sama orang yang baru kabur dari RSJ. Jadi yang gila siapa) he he he dan masih banyak lagi tentang Jepri yang sikapnya out of the box ini.


Setelah membaca cerita Mei Hwa ini ada beberapa hal yang bisa saya simpulkan yaitu sebagai berikut :

  • Pertama : Jangan menilai seseorang dari sampulnya. Yang berpenampilan rapi belum tentu punya niat baik, yang berpenampilan sederhana belum tentu dia tidak punya apa-apa.
  • Kedua : Jangan pernah menghakimi seseorang berdasarkan suku, ras atau golongan. Perlakukan sebagaiman kita sebagai seorang manusia ingin diperlakukan.
  • Ketiga : ikhlas itu memang berat, tapi adakalanya ikhlas itu bisa menjadi sumber kekuatan dan kebahagian kita sendiri.

Setelah membaca cerita Mei Hwa aku jadi penasaran dengan karya-karya Mbak Afifah Afra yang lain.

Selamat membaca dan kalian wajib membaca cerita ini.





Posting Komentar

0 Komentar